Tulisan mengenai asal usul Batik Jambi mula-mula terdapat pada artikel yang ditulis E.M Gosling dalam mingguan colonial “TIMUR DAN BARAT” Nomor 52 tahun 1929 dan Nomor 2 tahun 1930. Artikel itu menyebut bahwa penemu Batik di Kota Jambi adalah Tasilo Adam dan ia jugalah yang menyebar berita di bulan Januari 1928 untuk selanjutnya disebar luaskan kepada rakyat dengan perantara Resident Jambi Tiuan Ezarman.
Menurut tulisan itu hasil kerajinan tangan Batik Jambi telah berkembang sejak zaman dahulu yang berasal dari nenek moyang turun temurun di penduduk kampong tengah atau kampong yang berdekatan yang terletak di Seberang sungai Kota Jambi (Sebrang Kota Jamseko). Keterangan ini diberatkan dengan bukti bahwa berkas Resident Jambi tahun 1918-1925 bernama H.I.C.Petri, memiliki batik merah yang bagus sebanyak 5 helai. Terutama selendang yang indah dipandang mata dan dibuat dengan teliti, diberi warna merah diatas warna dasar hitam dan sedikit biru yang diperoleh pada Tahun 1920 waktu ia bersama Ny. Bekker mengunjungi kampong tersebut.
Bukti lain menerangkan bahwa sehelai selendang sutera berasal dari Jambi tersimpan di Kolonial Institut Valkenkunde No. 556/23. Selain kerajinan tangan Batik, daerah Jambi dikenal akan Sulam Benang Emas dan Tenun ikatnya (Songket).
Hal ini dibuktikan dari keterangan Ny. Resident Petri dan Tuan Tassilo Adam bahwa Terunan Ikat Jambi sebanyak 2 helai yang dimiliki oleh Prof. Van Erde amat bagus yang tak ada tandingannya karena Rayi Limaran berbunga laksana bintang bertaburan biru muda dan putih di dalam petak bersulam benang emas didalamnya. Hasil kerajinan tangan Batik sulam benang emas dan tenun ikat (Songket) dari Jambi dahulu kala hanya dilakukan oleh beberapa orang saja demi kepentingan daerah Jambi, yang dipakai oleh penghuni rumah tangga Sultan Jambi, maka hasil kerajinan tangan tersebut pada waktu itu dipakai untuk ikat kepala, disekitar kepala, selendang sarung, ikat pinggang dan celana.
Nian S.Djoemena dalam ungkapan sehelai batik (1986) mengemukakan bahwa batik Jambi dikembangkan oleh keluarga Raja-Raja Melayu Jambi dan berangsur-angsur surut setelah kerajaan runtuh. Yang jelas menurut P.W.Philipsen pada tahun 1875 Haji Mahibat beserta keluarga dari Jawa Tengah menetap di Jambi dan mengerjakan pembatikan di Jambi, cerita dan katalog batik Jambi ini juga telah ditulis oleh Fiona Kerloque secara khusus sebagai hasil studinya di Jambi. Judul bukunya itu “Scattered Flowers Textile From Jambi Sumatera”.
Kendati masih perlu penelitian, dengan adanya makam Pakubuwono III bertarikh 1787 di desa Lubuk Landai yang oleh masyarakat disana dipanggil Tuo Tengkar, orang tuo yang karena sifatnya yang sering bertengkar, hijrah dari Jawa Tengah bersama keluarga dan pengikutnya. Boyongan seperti ini patut diduga juga membawa orang tahu (perajin) batik. Tidak mustahil bila dari daerah ini ditemukan juga batik, tetapi terbatas dan tidak berkembang lebih jauh dari itu. Dari catatan Hendrik Van Gent, Kepala Perdagangan Belanda di Jambi tertanggal 18 Agustus 1642 (de Graaf, 1986) menggambarkan pengaruh Mataram sedemikian kuatnya sehingga para pangeran dan pembesar Jambi mempergunakan bahasa dan pakaian Jawa dikalangan Keraton.
Penduduk orang-orang biasa tidak lagi diharuskan berpakaian Melayu seperti biasanya, melainkan berpakaian Jawa. Catatan Hendrik Van Gent ini memang meragukan, apakah kewajiban itu bukannya sebagai semacam peraturan yang ditetapkan oleh pengusaha Mataram. Bila berkunjung kesana dan catatan itu bisa saja membungkus ketidak senangan Belanda terhadap penguasa Jambi Pangeran Kedah gelar Sultan Abdul Kahar yang seolah dibawah pengaruh Mataram yang dimusuhi Belanda.
Pada saat itu ditenggarai Jambi menjalin hubungan juga dengan Palembang unuk menyaingi Pos-pos dagang(diplomatik) Belanda yang ada di Jambi ataupun di Palembang. Andai pemberlakuan busana Jawa ini terbukti benar,maka tidak mustahil pekerjaan pembatikan pun yang semula di Jawa ditarik ke lingkungan istana. Ini berarti mendukung pendapat Nian S.Djoemena dan penulis lain yang menyatakan bahwa pakaian batik dikembangkan oleh keluarga Raja-raja Melayu Jambi.
Terlepas dari kesan politis,maka catatan Hendrik Van Gent ini memberi indikasi adanya pengaruh atau pemakaian busana (batik) Jawa di Jambi disaat pertengahan abad 17. Malah Tome Pires penulis Portugis dalam Suma Oriental menulis konon rakyat Jambi lebih mirip orang Palembang dan orang Jawa dari pada orang Melayu. Corak Kejawaan yang tampak dalam Kerajaan Palembang dan Jambi masih tetap terasa pada masa Islami berabad-abad kemudian (de Graaf,1986).
Kalau dirunut lebih jauh lagi,pengaruh Jawa terhadap Jambi mungkin dirasakan setelah terjadinya Pamalayu (Penyerangan Ekspedisi Militer Singosari Terhadap Melayu / Jambi tahun 1275 M) dan berlanjut dengan politik perkawinan putri melayu Dara Peta dan Dara Jingga dengan Raja dan pembesar Majapahit (1239 M). busana Arca Prajnaparamita (abad XIII) yang ditemukan di Candi Gumpung Muaro Jambi,terkesan kuat kainnya bermotif sejenis bunga Anggrek, Relung Pakis dan Bungo Tanjung atau tampilan flora lain yang belum terindikasi Gaya ceplokannya mirip ceplokan ciri khas batik Jambi. Kemudian sejalan dengan perkembangan penguasaan belanda atas Jambi, banyak keluarga Keraton yang pindah ke Huluan Jambi (Muaoro Tembesi dan Muaro Tebo) ataupun ke Seberang kota Jambi,sehingga pakaian batik boleh-boleh saja dipakai rakyat kebanyakan walau pada awalnya dilakukan oleh para putri bangsawan dan keluarga kerajaan, sampai sekarang kampong Tengah dan kampung berdekatan yaitu kampung Jelmu, kampung Mudung Laut, Ulu Gedong, Ola Kemang, Tanjung Pasir, Tanjung Raden, dan Pasir Panjang (semua kampung yang ada diseberang kota, 2 kecamatan Pelayangan dan kecamatan Danau Teluk) yang masih berfungsi sebagai sentra batik dan Sulaman benang emas yang bersama kehidupan masyarakat dan pemukimannya ditetapkan sebagai daerah Cagar Budaya. Para keluarga Sultan ataupun Sultan Bayang (angkatan Belanda) bermukim di Seberang Kota Jambi.
Akhirnya pada era tahun 1980 an atas prakarsa ibu IR. Sri Soedewi Maschun Sofwan (Ibu Gubernur Jambi kala itu) bersama ibu Lily Abdurahman Sayoeti memprakarsai dan menghidupkan kembali budaya Batik Jambi dengan mendatangkan ahli Batik dari Yogyakarta (Ibu IR. Sri Sudewi Samsi) dan seorang pembantu (Pakde Marno) untuk memulai kembali melatih remaja-remaja Putri dari Kota Seberang, pesertanya lebih kurang 45 orang remaja putrid an 4 orang remaja putra untuk mengikuti pelatihan yang dipusatkan di kampong Ulu Gedong (Rumah Batu). Dalam pelatihan dimaksud bukan hanya meneruskan teknis membatik alami namun mengembangkan teknis membatik ala modern dengan menggunakan zat kimia (Naptol dan Garam/istilah pewarna batik). Hingga kini batik tulis kimia inilah yang lebih berkembang pesat dibandingkan Batik Tulis Alami dan bermunculan juga motif-motif baru seperti motif Batanghari, Motif Angso Duo dan Motif Kombinasi serta motif-motif lainnya.
MOTIF BATIK JAMBI
Motif dapat diartikan sebagai pola garis