Press "Enter" to skip to content

METAFISIKA

METAFISIKA

Kebudayaan pra-modern Indonesia sebelum tersebarnya agam islam dan sebelum masuknya peradaban modern Barat-Eropa,adalah kebudayaan yang bersifat religious-magis. Kosmologi atau tatanan keberadaan ini melibatkan tiga alam, yakni alam manusia, alam dunia dan semesta, serta alam keillahian (metakosmos). Ketiga alam tersebut atau ketiga moscos merupakan kesatuan yang saling mempengaruhi dalam sebab akibat. Kehidupan alam manusia ini tidak hanya bergantung pada dirinya tetapi juga pada alam semesta dan alan metafisikanya. Lebih-lebih ini berasal, menjadi sasaran perhatian utama untuk membuat kehidupan manusia di dunia ini berlangsung dalam keselamatan dan kesejahteraan.

Sebagaimana kedudukan yang metafisik ini terhadap yang secara fisikal ada, setiap masyarakat suku memiliki konsepnya masing-masing yang tersimpan dalam kisah-kisah mitologi penjadian dalam memahami cara berfikir masyarakatnya yang membangub kebudayaannya. Dengab demikian filosofi suku budaya suku dapat ditelusur dari pembacaan mitos-mitos ini.

Secara kasar dapat dikatakan bahwa setiap suku di Indonesia mempercayai adanya Yang Esa tanpa pembedaan sebagai asal dari semua ada ini. Pada masyarakat yang kemudian menerima agama Hindu atau Budha, Yang Esa ini sama dengan kekosongan (Sunyata).

Dari Yang Esa atau Sang Hyang Tunggal inilah muncul segala suatu yang ada ini, yakni alam semesta yang makrokosmos dan manusia yang mikrokosmos. Keberadaan makro dan mikro ini plural, namun pluralitas ini terdiri dari pasangan-pasangan yang saling melengkapi meskipun berbeda secara diametral. Keberadaan ini dualistik, tidak yang satu tanpa yang lain sebagai pasangannya. Ada ruang ada waktu. Tanpa ruang tak ada waktu, tanpa waktu tak ada ruang. Ruang itu sekaligus ada atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang. Tanpa yang satuvtak ada yang lainnya itu. Waktu itu sekaligus siang-malam, tak ada siang tak ada malam.

Begitu pula alam ini merupakan pasangan-pasangan, langit-bumi, gunung-laut, hulu-hilir, batang-pucuk. Manusia juga sepasang, lelaki-perempuan inilah yang dijadikan esensi symbol-simbol segala yang ada.

Langit adalah lelaki kalau bumi perempuan dan sebaliknya. Matahari itu lelaki kalau bulan perempuan. Hulu itu perempuan kalau hilir lelaki. Keras itu lelaki kalau lunak perempuan. Lurus adalah lelaki kalau lengkung perwmpuan. Dan juga jutaan pasangan-pasangan keberadaan yang lain. Pasangan oposisioner itu saling memaknai, saling meng-ada-kan, saling melengkapi satu sama lain, saling memberi sifat. Keterpisahan keduanya menyebabkan adanya hukum sebab-akibat, dari sehat menjadi sakit, dari miskin menjadi kaya, dari terang menjadi gelap, silih berganti. Hukum sebab-akibat adalah hukum perubahan. Perubahan berdasarkan hujun sebab-akibat (kausalitas) dapat dijelaskan oleh akal sehat manusia dan diselesaikan dengan hukun manusia pula.

Tetapi Yang Esa itu tidaj beribah justru karena keesaannya tanpa perbedaan,. PadaNya tidak berlaku hukum kausalitas, yang ada hanya hukum spontanitas, yakni “ada maka ada” tanpa apapun sebelumnya. Itulah sebabnya alam pikiran religius purba Indonesia ini berupaya bagaimana menghadirkan Yang Esa tanpa pembedaan tadi ke kehidupan mereka, untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka yang tak kunjung teratasi oleh upaya akal sehat manusia yang kausalitas, tujuan hidup manusia tak lain adalah “selamat” hidup di dunia ini dan akherat nanti. Segala upaya di lakukan untuk menghadirkan Yang Maha Esa itu didunia manusia. Terdapat 4 golongan mentalitas budaya di Indonesia primordial itu memiliki cara yang berbeda-beda.

Pada budaya kaum peramu-pemburu, dualitas keberadaan itu dibiarkan saling saling bertentangan dalam dinamika pesaingan. Agar Yang Esa hadir di dunia mereka, maka harus ada pasangan yang dihadirkan. Akibat dinamika pertentangan ini maka dapat jatuh korban, namun tidak melenyapkan pasangannya.

Inilah pasangan perang. Kematian adalah syarat hadirnya keselamatan yang bersifat spontan dari Yang Esa. Semboyan mereka adalah “Kematian adalah syarat kehidupan”. Oleh kaum antropolog kolonial inilah yang disebut “kebudayaan motif perang”. Pada budaya kaum peladang, pasangan dualitas keberadaan tersebut justru harus disatu padukan atau dalam terminologi antropologi disebut “motif perkawinan”. Upaya menyatupadukan dalam perkawinan ini, pada kaum peladang, tidak dapat dilakukan tanpa medium perantara. Medium pernyatuan atau perkawinan itu adalah entitas ketiga yang sifatnya mengandung sifat-sifat dua pasangab oposisioner tersebut. Itulah sebabnya saya menamainya budaya Pola Tiga karena adanya kesatuan tiga dari dua pasangan oposisioner. Sedangkan pola kaun peramu lebih tepat dinamai Pola Dua. Tanpa adanya entitas ketiga yang bersifat paradoks, maka tak muncullah kesatuan yang meng-Esa.

Kaum pesawah bukan hanya menyatukan atau mengawinkan atau mengharmoniskan pasangan dualitas oposisioner, tetapi juga meleburkannya dalam keesaan. Bukan hanya dua pasangan tetapi empat pasangan atau lebih. Itulah sebabnya mereka mengenal yang disebut “pusat” atau pancer” yang berupa peleburan berbagai pasangan yang oposisioner. Pada terbentuknya pancer itulah Yang Esa hadir dengan hukum spontanitasnya. Itulah Pola Lima.

Pada kaum maritim kuga terdapat empat pasangan oposisioner namun tidak disatukan dalan satu pusat atau pancer. Kesatuan kaum maritim mirip kaum Pola Dua, yakni membiarkan entitas tetap pada dirinya, hanya disatukan dalam dinamika persaingan, bukan kematian. Pola Empat kaum maritim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *